Friday, 30 October 2015

corpse loli 01

Aku adalah pendosa...
Dan seorang pendosa sepertiku sudah sepantasnya dihukum...
Hamparan tanah persawahan yang menghijau terhampar dihadapanku, langit diatasku berwarna biru pucat bersih tanpa awan seputih kapas terlihat sejauh mata memandang.
Hari ini begitu tenang sekali, orang-orang dari desa itu kini telah pergi...
Karena beberapa alasan orang-orang di desa itu diungsikan, tidak ada satupun sawah yang dibajak, ternak yang merumput, ataupun suara seruling anak gembala.
Sudah seminggu sudah semenjak Kak Candice mati, kenang-kenangan darinya masih kusimpan dengan baik di dalam tas tangan unguku.
Namun semenjak itu , aku yang berpikir bahwa aku juga takkan membunuh orang lain selain Kak Candice, pada akhirnya harus membunuh banyak orang dan juga memakan mereka.
Karena rasa lapar tak tertahankan dari kutukan dosa yang kudapatkan.
Sepertinya belenggu dosa ini takkan terlepas begitu saja dari leherku. Sekali aku melakukannya, belenggu itu akan terus mengikatku.
Kemudian ia akan mencekikku lebih erat dengan perlahan tanpa kusadari begitu aku berpikir untuk berhenti melakukan dosa itu.
Selain itu, perasaan bahwa dosa yang kulakukan itu adalah berdasarkan keterpaksaan, mulai bermunculan di dalam diriku...
Semua hal itu diperburuk dengan orang-orang yang mengejarku...
Di hamparan kesunyian ini, samar-samar kudengar suara langkah kaki, rangkak tangan dan kaki di antara rerumputan, dan juga hela nafas memburu yang berhembus mengeringkan embun.
"Target masih diam di tempat yang sama... Dekati ia dengan perlahan, jarak serangnya adalah sepuluh meter. Hindari kontak mata dengan target!"
Terdengar suara samar-samar yang harusnya tak dapat kudengarkan, suara itu terdengar berbisik bagaikan radio rusak. Namun suara itu cukup jelas terdengar di telingaku.
Suara ini... Apakah ini berasal dari alat pemancar gelombang radio?
Jawaban yang kudengar hanyalah sebuah timah panas yang meledak di belakang kepalaku, tubuhku terdorong ke depan, lalu tersungkur di atas rerumputan hijau.
Dalam beberapa detik aku kehilangan kesadaranku, tempurung kepalaku pecah dan ada selongsong peluru yang masuk diantara syaraf otakku.
Setelah beberapa detik, aku segera kembali berdiri. Peluru di dalam otakku sudah keluar dengan sendirinya, dan tengkorak kepala belakangku kini sudah kembali seperti sedia kala.
Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan semua keanehan ini.
Tiga selongsong peluru di tembakkan dari tiga arah yang berbeda, tapi kali ini aku bisa menghindarinya. Serangan penembak terakhir yang ada di belakangku membuatku mengetahui dimana semua musuh berada dan kemanakah arah tembakan mereka mengarah.
Rasa bersalah atas kematian-kematian itu tiba-tiba bermunculan, setelah rasa sakit yang mendadak muncul di dalam tempurung kepalaku.
Aku memang sudah mulai terbiasa merasakan rasa sakit, tetapi bukan berarti sekarang aku tidak bisa merasakan rasa sakit. Karena pada akhirnya aku hanya menahan rasa sakit itu.
Harusnya aku mati setelah membunuh Kak Candice, hal itulah yang kupikirkan. Namun sayang sekali, takdir berkata lain.
Karena malaikat maut telah berpaling dariku.
Kak Candice, satu-satunya orang yang kuanggap keluarga, telah terbunuh oleh tanganku sendiri.
Kematian telah lari dariku dan keabadian membelengguku. Kini yang tersisa dalam diriku hanya sebuah jiwa yang penuh dengan penyesalan.
Ingin aku hanya diam dan tak melakukan apapun bagaikan mayat tanpa nyawa. Namun egoku selalu berkata, jika aku mati maka kematian Kak Candice akan sia-sia.
Ia telah mengorbankan dirinya, menukar kehidupannya yang singkat dan memberikannya padaku. Akan tetapi tidak ada yang menyangka, bahwa dengan mengorbankan sisa hidupnya itu, ia telah memberikanku keabadian.
Regu penembak kembali menembakkan beberapa peluru sekaligus, kali ini aku tidak tinggal diam. Kuberlari menginjak tanah berlumpur yang terasa dingin menyentuh kulit telanjangku.
Padi-padi yang masih hijau tersibak oleh kedua kakiku. Kuberlari secepat angin berhembus bagaikan melayang diantara hijaunya dedaunan padi. Menangkap tubuh seorang bapak paruh baya yang mengenakan peralatan lengkap bagai seorang prajurit.
Kacamatanya hitam dengan pelindung kepala dan pakaian hijau untuk menyamarkan keberadaannya. Sepatu bot hitam penuh lumpur terlihat kokoh menempel di kakinya. Sayangnya ia terlihat tak berdaya ketika tangan kananku menyambarnya dan mengangkatnya ke udara.
Senapan laras panjang terjatuh dan tenggelam di dalam lumpur, sementara itu pemiliknya meronta-ronta dalam cengkeramanku.
Regu penembak lain panik, salah satu dari mereka menembakku dari belakang. Akan tetapi sayangnya gerakan mereka terbaca olehku, kugunakan bapak tua malang itu sebagai perisai, tempurung kepalanya meledak tepat di depan mataku.
Aku beruntung sekali, sekarang aku bisa membayangkan bagaimana wujudku ketika peluru-peluru tadi menembus kepalaku.
Sepertinya aku terlalu merasa di atas angin, tepat setelah aku melemparkan bapak tua tadi di atas lumpur bersama dedaunan padi, ratusan peluru yang tak terhitung olehku tiba-tiba muncul dari sisi kanan tubuhku, peluru-peluru itu terlalu kuat, bahkan meskipun aku menggunakan tameng mayat.
Selain itu, entah kenapa peluru-peluru itu terasa meledak ketika masuk ke dalam tubuhku. Hal itu membuatku kesulitan menyembuhkan luka-lukaku. Dalam hati aku berpikir bahwa mungkin saatnya aku menebus dosa-dosaku, meski itu artinya membuat kematian Kak Candice menjadi sia-sia.
Tubuhku rebah ke tanah, aku tak bisa menahan mataku yang ingin melihat luka-luka mengerikan pada tubuhku. Meskipun aku tahu otakku telah hancur dan tinggal separo, tapi kesadaranku masih cukup sanggup untuk melihat semua hal itu.
Tangan kananku hancur tak bersisa, meledak dan bagian-bagiannya tercecer di tanah, membuat daun-daun padi menjadi berwarna merah putih hitam.
Sisa lenganku membentuk daging kecil hitam yang terus mengucurkan darah gelap. Sementara itu kurasakan wajahku yang telah hancur kini mengalirkan cairan otakku yang berbau amis, lalu perlahan turun membasahi leherku.
Melihat akhir mengerikanku, aku hanya tersenyum, kudengar suara langkah kaki yang terdengar bagai berlari ke arahku. Pasukan penembak ya?
Aku sangat berterima kasih pada mereka, para malaikat maut yang gigih, algojo-algojo tanpa rasa takut yang terus memburuku sampai akhir hayatku.
Kupejamkan mata sebelah kiriku yang masih utuh, dalam kegelapan itu aku bersyukur, semua telah berakhir. Aku sudah tak peduli lagi, apakah setelah ini aku akan bertemu dengan Tuhan, Malaikat, ataukah Iblis.
Namun sebuah pertanyaan mengusikku...
Sebelum aku mati, tak bisakah setidaknya sebelum aku mati...
Aku bisa bertemu orang tuaku?
Keluarga kandungku?
Tak peduli meski mereka akan membenciku, aku hanya ingin bertemu dengan mereka.
Keinginan suci dalam hatiku itu mungkin hanyalah pemikiran spontan seorang anak kecil. Bahkan sedikitpun aku tak berharap agar hal itu dapat terkabulkan.
Namun terkadang, takdir memiliki cara sendiri untuk mengabulkan doa-doa kecil seperti itu.

No comments:

Post a Comment