Kubuka mataku, ruangan besi gelap itu berubah menjadi langit-langit rumah kayu reyot yang telah bertahun-tahun kumiliki.
Kepalaku terasa amat pening, kusentuh ubun-ubunku dan memijitnya perlahan.
Kulihat jam dinding yang bandul dari kuningannya berayun pelan, tubuhku masih terasa sakit meski telah kuistirahatkan selama satu malam. Punggungku terasa mati rasa dan leherku sangat sulit untuk digerakkan.
Sepertinya aku terlalu memaksakan diri untuk menyelamatkan gadis itu. Berada diantara peluru-peluru peledak yang berterbangan di atas kepalaku, sambil menggendong seorang gadis kecil di bahuku sepertinya memang adalah sebuah ide yang buruk.
Apa yang kemarin kuhadapi benar-benar sangat berbeda dengan saat ketika aku bertemu Chiva. Tak ada desingan peluru ataupun orang-orang berseragam hijau dari Gaia, yang ada hanyalah Chiva dan kemampuan anehnya untuk mengubah benda mati menjadi perisai tubuhnya.
Pertempuranku dengan Orang-orang dari Gaia ketika menyelamatkan Candy hampir membuatku kehilangan nyawa, peluru peledak membuat tubuh kami sulit beregenerasi. Hal itu berlaku padaku, ataupun Candy yang dapat beregenerasi dengan cepat.
Namun meskipun begitu, aku benar-benar terkejut karena dengan sangat mudahnya aku bisa membuat Candy percaya dengan apa yang kukatakan.
Meskipun sebagian dari diriku senang karena dengan begitu aku tak harus kerepotan dengan kekacauan yang akan terjadi ketika ia mengira aku adalah musuhnya, akan tetapi aku juga harus membuat Candy mengubah sifanya agar ia tidak mudah mempercayai orang asing demi kebaikannya sendiri.
Ketika aku dan Chiva bertemu, kami hampir saling membunuh. Perlu waktu berjam-jam dengan pembicaraan yang diselingi oleh gigitan dari gadis itu agar ia mau percaya kalau aku adalah orang tua biologisnya.
Akan tetapi hal seperti itulah yang membuat gadis itu kini menjadi mudah untuk dikendalikan. Rasa kepercayaan yang sulit untuk didapatkan akan membuat sebuah hubungan menjadi semakin erat.
Selama beberapa bulan kami bersama, dia sudah mampu mengurus dirinya sendiri, mencuci pakaian kami, dan juga berbelanja kebutuhan sehari-hari tanpa harus tertipu oleh pedagang di pasar.
Selain itu setelah ia mengetahui kalau ia memiliki saudara lainnya yang terpisah dengannya, pada akhirnya ia berhasil membujukku agar aku mengizinkannya untuk pergi, dan mendapatkan kepercayaanku untuk mencari saudari-saudarinya yang lain.
"Engh..."
Terdengar suara erangan kecil dari atas tempat tidur, sepertinya Candy mengigau, selimut putih lembutnya terjatuh di lantai putih keramik yang kusam.
Ia pasti kedinginan, hari ini matahari masih enggan terbangun. Walau samar-samar bentuk tubuhnya kini telah terlihat di ufuk timur, tapi ia masih tertidur dibalik selimut kabutnya.
Aku segera beranjak dari kursi malasku, merapatkan syal cokelat tuaku dan mengambil selimut putih yang terjatuh dari tempat tidur. Aku berniat menyelimutkan selimut putih itu pada gadis kecil yang kini sedang terbaring miring sambil memeluk tubuhnya.
Namun kuurungkan niatku setelah melihat sepasang mata bulat semerah saga yang melihatku dengan lucunya.
"Kau sudah bangun?"
Hanya anggukan kecil yang kudapatkan, gadis kecil itu mengangguk sambil menguap, menunjukkan gigi-gigi taring mungilnya dan lidah segitiga panjangnya.
Meskipun ia telah tertidur berjam-jam, akan tetapi rambut hitamnya tetap terlihat lurus, berbeda dengan rambut Chiva yang berubah menjadi rambut singa setiap ia bangun. Syukurlah, aku tidak perlu menyisir rambut Candy seperti ketika Chiva masih ada disini.
Kuhamparkan selimut putih pada tubuhnya, tanpa kuminta ia segera merapatkannya pada tubuhnya. Apa hari ini aku harus memanaskan air untuknya?
"Papa..."
Bibir mungilnya bergerak, suara Candy sangatlah merdu, bagaikan suara anak burung yang menenangkan hati. Tapi sayangnya ia memanggilku dengan sebuah kata larangan.
"Sudah hentikan! Berhenti memanggilku seperti itu, bukankah sebelumnya kau memanggilku Rivail?"
Kucoba memasang wajah kesal semenakutkan mungkin, tetapi Candy hanya menatapku dengan tatapanmemelas. Ingatanku melayang pada sosok makhluk mengerikan, yang kemarin kulihat sedang memakan orang-orang dari Gaia.
Melihat gadis monster itu kini sedang terduduk di atas tempat tidur Chiva sambil memegangi perutnya, dan menatapku dengan mata manisnya membuatku merasa kalau apa yang kulihat kemarin hanyalah mimpi.
Kau tidak akan bisa membayangkan jika kalian melihat sesosok monster pemakan daging dengan kecepatan 3 meter perdetik, dengan regenerasi secepat bakteri tiba-tiba kini berada di depanmu. Menatapmu dengan polosnya bagaikan seekor kucing kecil.
"Baiklah Candy, aku akan memasakkan sesuatu untukmu...
Aku tidak yakin apakah masakanku enak, tapi setidaknya itu akan membuatku kenyang."
Kubalikkan tubuhku sambil mengingat-ingat bahan makanan apa saja yang masih tersisa di dalam kulkas, akan tetapi belum genap aku melangkahkan kakiku, sebuah tangan mungil nan kecil memegang ujung jaketku sambil menariknya perlahan.
"Papa..."
Aku ingin kembali memarahi Candy karena telah memanggilku Papa lagi, akan tetapi ada yang berbeda dengan nada berbicaranya. Nada berbicaranya berubah menjadi sedikit datar, seakan-akan ia mencoba berbicara serius denganku.
Hal itu membuatku terdiam sejenak lalu menanyakan apa yang ingin ia katakan.
"Apakah... Papa... Apakah Papa akan memberiku makan daging manusia?"
Pertanyaan Candy sama sekali tidak membuatku terkejut, bahkan Chiva yang telah berbulan-bulan makan daging dari mayat yang sama denganku juga sebenarnya terlihat enggan memakan daging manusia.
Meskipun ia terlihat menikmatinya dan menunjukkan wajah cerianya di hadapanku, aku tahu kalau memakan daging manusia itu adalah hal yang menjijikkan dan menakutkan.
Meskipun manusia adalah makanan kami, akan tetapi manusia juga adalah makhluk yang setiap hari kami hadapi. Kami saling mengobrol, dan berinteraksi dengan mereka.
Kubalikkan badanku melihat gadis itu, aku tahu ia merasa takut. Kucoba menghilangkan rasa takutnya dengan mengelus kepalanya pelan. Sama seperti ketika Chiva menunjukkan wajah sedihnya, aku tidak tahu apakah Candy menyukainya atau tidak, akan tetapi setidaknya ia kini menghentikan ekspresi menyedihkannya dan kembali pada wajah polosnya semula.
"Papa...?"
Candy mengangkat wajahnya, sepasang mata bulatnya menatapku lekat-lekat. Ini adalah kali pertamanya aku menatapnya lebih dari satu detik, mata seseorang lebih berbicara banyak daripada kata-kata.
Aku bisa melihat luka, penyesalan, kepedihan, dan penderitaan dimatanya. Sepasang mata gadis kecil seusianya seharusnya jernih bagaikan oase, akan tetapi mata Candy kusam dan terlihat pudar.
Kudekatkan wajahku pada telingnya dan kubisikkan kata-kata dengan lirih pada setiap helai rambut hitam halusnya.
"Akan kuberitahukan sebuah rahasia Ghoul kepadamu Candy..."
Gadis itu mengangguk, ia mengubah posisinya, seakan mempersilakanku untuk duduk didekatnya. Sementara itu ia memasang wajah seolah-olah kata "Ceritakanlah padaku Papa" terpasang pada keningnya.
NB :
Pembuat cerita Corpse Loli disini bukan saya, Pembuat cerita adalah Pena Inksword
Dengan link fb : https://m.facebook.com/profile.php?id=100008474175908&refid=18
No comments:
Post a Comment