Monday, 2 November 2015

Corpse Loli 3

Corpse Loli 03

Apakah anak kecil sepertiku seharusnya memiliki sesuatu yang dinamakan dosa?

Sebuah penyesalan tiada akhir yang selalu tersimpan di dalam hati?

Ahh mungkin...

Aku mungkin memang memiliki sesuatu yang dinamakan dosa...

Karena dosa itu...

Telah kumiliki begitu aku terlahir ke dunia ini...

Namaku adalah Candy, umurku mungkin sekarang adalah sepuluh tahun.

Aku tidak memiliki ingatan apapun dalam diriku, hanya saja...

Aku hanya ingat kalau selama ini aku terus berjalan...

Terus berjalan tanpa arah dan tidak pernah tahu dimanakah aku akan berhenti...

Tanpa mengetahui kemanakah aku akan pergi...

Bahkan tak mengetahui di manakah nanti aku akan berhenti...

Semua hal yang kutahu hanyalah bahwa aku harus terus berjalan, tak peduli meskipun siang telah berganti malam, ataupun musim semi telah berganti menjadi musim dingin.

Sampai kemudian...

Aku terjatuh di atas sebuah tanah berlumpur dengan kotoran-kotoran menjijikkan, dan diselimuti bau memuakkan yang tak menyenangkan.

Saat itulah aku menyadari suatu hal...

Bahwa aku tak memiliki alasan apapun untuk terus berjalan...

Bahkan aku tak memiliki alasan apapun untuk terus hidup...

Kupejamkan mataku, membiarkan lumpur itu menenggelamkanku dalam sebuah mimpi buruk lain yang mungkin lebih baik daripada mimpi burukku yang sekarang.

Namun sayangnya, aku ternyata terbangun di sebuah mimpi yang paling buruk diantara mimpi paling terburuk sekalipun.

Lumpur itu telah menenggelamkanku pada mimpi burukku yang terburuk.

Aku terbangun di atas sebuah kamar yang hangat, diatas tempat tidur kayu beralaskan kasur empuk, dan diselimuti kain lembut nan hangat.

Seorang gadis kecil yang seumuran denganku menyambutku. Ia memiliki wajah imut dengan rambut ekor kuda panjang. Warna piyama yang ia kenakan senada dengan piyama yang aku kenakan.

Nama gadis itu adalah Candice, ia memperkenalkan dirinya sebagai kakak perempuanku, dan itu berarti aku sekarang adalah adik perempuannya. Nama Candy yang kumiliki sekarang, adalah nama pemberian Candice, kakak perempuanku.

Candice dan aku tinggal di sebuah desa dengan peternakan kecil milik kakek. Kakak perempuanku yang aneh sangat senang memelihara anak-anak ayam dalam kardus yang dipasang bola lampu untuk menghangatkan mereka di waktu malam hari.

Kakakku sangat menyayangi anak-anak ayamnya, ia menamai ketiga anak ayamnya itu dengan nama Jack, Frost, dan Scrooge. Ia selalu mengajakku bermain bersama mereka, memberi makan mereka dan mengikuti kemanapun mereka berjalan, saat kami ada di halaman belakang

Selain memelihara anak ayam, kakakku sangat suka memasak kue, meskipun terkadang ia membakar kuenya, terlalu banyak menambah adonan, ataupun tanpa sengaja menghancurkan dapur nenek. Akan tetapi meskipun begitu, kakek dan nenek tak pernah satu kalipun memarahinya. Mereka juga bahkan memakan kue buatannya, tak peduli semengerikan apapun rasanya.

Namun hal itu bukanlah tanpa alasan, karena sebenarnya Kak Candice... Memiliki penyakit kronis yang tak pernah kuketahui nama penyakitnya.

Setiap seminggu sekali kakak harus pergi ke rumah sakit kota dengan menaiki mobil. Ia akan memasuki sebuah ruangan dimana tidak ada siapapun selain dokter yang boleh masuk. Selama beberapa jam aku menunggu bersama kakek, mendengarkan beliau bercerita tentang saat-saat Kak Candice masih kecil.

Entah sudah berapa kali aku mengantar Kak Candice ke rumah sakit, sepertinya sudah berpuluh-puluh minggu aku melakukannga, mengulangi rutinitas paling tidak kusukai dengan Kak Candice.

Kali terakhir kami pergi kesana adalah setelah Kak Candice memutuskan untuk menyembelih Jack, Frost, dan Scroogy yang sudah mulai tua. Kakek menyembelihkan mereka untuk kami, beliau berkata bahwa itu adalah hadiah karena kami telah merawatnya.

Aku berterima kasih kepada Kakek, meskipun aku benar-benar tidak mengerti, kenapa Kak Candice memakan mereka? Bukannya Kak Candice menyukai mereka?

Namun pertanyaanku tertahan selama beberapa saat karena aku dan kakak harus memakan Jack dan yang lainnya segera dalam kondisi hangat.

Baiklah, saatnya kembali pada cerita tentang mengantar kakak ke rumah sakit. Hal yang paling tidak kusukai dari rutinitas itu adalah wajah kakak setiap kali pulang. Wajahnya kosong seperi boneka beruang yang kehilangan mata kancingnya. Kedua matanya tak melihat ke arah manapun.

Namun meskipun begitu, aku tak pernah mencoba mengusiknya...

Hal itu...

Karena aku tahu alasan dibalik semua hal-hal mengerikan itu...

Tentang orang tua Kak Candice yang selalu membayar biaya pengobatannya tapi tak pernah sekalipun menjenguknya, tentang semua keputusasaannya sebelum kedatanganku, dan tentang kebenciannya kepada dunia...

Semua itu...

Mungkin hanya akulah yang paling mengetahuinya...

Tangisannya setiap malam setelah menelpon orangtuanya, isakan dan air matanya yang tumpah begitu saja diatas lantai.

Mungkin hanya akulah yang mengetahuinya...

Saat itulah, di hari terakhirku mengantarkan kakak pulang dari rumah sakit. Aku berjanji bahwa aku akan membuatnya tak akan pernah membuat wajah menyedihkan itu lagi.

Namun sayangnya... Janji itu tak pernah terwujudkan...

Sebuah truk pengangkut hasil pertanian menabrak mobil kami pada sabtu sore oranye yang menyedihkan itu. Mendorong mobil kami jatuh ke jurang dan meledak di dasarnya.

Ketika aku sadar, apa yang kulihat hanyalah asap, tubuhku yang terpotong menjadi dua, dan tubuhku yang kehilangan perut dan kaki. Sepertinya jok mobil yang empuk telah berubah menjadi mesin pelumat begitu ia jatuh dari bibir jurang.

Kulihat Kak Candice terkapar tak berdaya tak jauh dariku, kepalanya berdarah. Akan tetapi kelopak matanya bergerak selama beberapa saat. Sampai akhirnya ia terbangun melihatku.

Wajah Kak Candice saat itu...

Mungkin aku takkan pernah melupakannya, wajah shocknya lebih menakutkan daripada wajah putus asanya. Sepasang mata bulatnya melotot bagaikan akan meloncat keluar, bibirnya bergetar bagaikan tak mampu berbicara lagi, dan mendadak ia berubah menjadi gagap.

Kak Candice berteriak, aku tahu ia ingin menyentuhku, tapi ia terlalu takut. Entah bagaimana ia baik-baik saja, dan entah bagaimana aku kini masih bisa bergerak meski kurasakan pudding jeruk yang kumakan tadi pagi kini keluar melalui salah satu potongan ususku.

Begitu melihat keadaanku yang takkan bisa terselamatkan, Kak Candice terus berbicara tanpa henti sambil menangis. Ia terus menerus berkata tentang waktu hidupnya yang tinggal satu bulan, tentang bagaimana seharusnya ia berada di posisiku.

Mendengar semua hal itu membuatku menangis...

Seharusnya aku tidak mati...

Kalau kematianku membuat Kak Candice menangis...

Mungkin lebih baik kalau aku tidak mati...

Seharusnya aku tidak mati...

Tiba-tiba ketika hanya waktu yang tahu bagaimana akhir dari tragedi ini, sebuah kenangan terpanggil tanpa kuundang. Kenangan saat aku dan Kak Candice memakan ayam-ayam peliharaannya.

Waktu itu adalah jamuan makan, dan aku sangat ingat seperti baru saja terjadi. Waktu itu kakek dan nenek harus pergi keluar karena ada rapat tetua desa.

Aku akhirnya berhasil bertanya alasan kenapa Kakak memutuskan untuk menyembelih Jack dan yang lainnya. Waktu itu Kak Candice hanya berkata "Semua itu karena aku menyukai mereka". Kak Candice menganggap bahwa Jack, Frost, dan Scroogy telah menderita karena dilahirkan dengan karma yang salah.

Karena itulah untuk membebaskan mereka dari Karma itu, Kak Candice menyembelih mereka agar tugas mereka sebagai binatang ternak dapat terpenuhi.

Kenangan itu muncul disaat yang tidak tepat, diwaktu bersamaan tiba-tiba aku merasakan rasa lapar yang hebat. Kedua tanganku bergerak dengan kemauan mereka sendiri, Kak Candice terdiam, teriakannya menghilang diantara kepulan asap yang mulai membakar pepohonan di sekitar kami.

Aku memeluk Kak Candice, gigi dan bibirku bergerak tanpa kuperintahkan, menggigit leher dan bahu Kak Candice dengan rakus.

Namun anehnya Kak Candice hanya terdiam, ia tersenyum sambil mengelus kepalaku. Belum pernah aku melihatnya tersenyum seperti itu. Seakan-akan, setiap kebahagiaan yang diturunkan Mikail di muka bumi ini, tercurahkan hanya untuknya.

Tapi saat itu aku menangis, air mataku meleleh sambil terus mengunyah daging merah muda milik Kak Candice. Melihat air mataku itu, Kakak memelukku erat, berbisik sambil menguatkanku. Berkata kalau apa yang aku lakukan adalah bukti cintaku padanya, agar ia dapat terlepas dari penderitaannya.

Aku benar-benar tak mengerti jalan pikirannya, tetapi hal itu juga membuatku merasakan bahwa apa yang kulakukan adalah hal yang benar.

Iya... aku melakukan hal yang benar.

Dengan memakan Kak Candice, aku akan membuatnya menghabiskan semua sisa penderitaannya, dan disaat yang bersamaan, aku mempercepat kematiannya.

Mungkin hanya kematianlah yang dapat membuat Kak Candice mengakhiri mimpi buruknya,

Dengan kematiannya, Kak Candice takkan menunjukkan senyum kepalsuan itu lagi. Senyuman yang ia tunjukkan setiap ia berkata kalau dia baik-baik saja.

Darah Kak Candice mengalir membasahi tubuhku, terasa hangat. Berkebalikan dengan daging kulitnya yang dingin. Tak kusangka Kak Candice akan mati dengan secepat itu, akan tetapi biarlah. Orang-orang baik memang selalu mati dengan mudah.

Kurasakan ada yang berubah pada tubuhku, darahku yang berceceran bergerak masuk kembali pada perutku yang menganga. Darah-darah itu terasa panas dan mengeluarkan gelembung bagaikan air mendidih.

Setelah itu, dalam sekejap, daging dan tulangku mulai tumbuh kembali. Memanjang membentuk tulang ekor, dan membulat membentuk perut dan pinggulku. Setelah kaki-kakiku selesai terbentuk, aku segera mencari pakaian ganti di dalam tas Kak Candice. Beruntung sekali ia memiliki ukuran tubuh yang tak jauh berbeda denganku.

Untuk terakhir kali kulihat mayat Kak Candice, seluruh daging pada batang tubuhnya telah habis kumakan, organ tubuh yang terlindung tulang kini masih utuh. Kuambil tas Kak Candice, lalu mengambil kenang-kenangan terakhir untuk mengingatkanku pada kakak.

Setelah itu kututupi sisa tubuh Kak Candice dengan dedaunan kering. Aku sudah melakukan tugasku, kini tinggal menyerahkannya kepada para serangga untuk menyucikan tubuhnya kembali.

Agar ia bisa kembali sang ibu...

Ibu umat manusia yang sebenarnya...

Ibu yang melahirkan manusia dari bagian tubuhnya, yang memberi makan manusia dengan tubuhnya...

Sang ibu dunia... Pertiwi... Gaia...

Aku telah benar-benar terbangun dari mimpi buruk terburukku...

Yakni memimpikan bahwa perjalananku telah berakhir dan aku memiliki sesuatu yang dinamakan keluarga...

Malam itu aku tertidur, aku merasa benar-benar lelah. Kenyataan ternyata lebih melelahkan dari perjalananku.

Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Rivail...

Ahh tidak, Papa Rivail...

Meskipun ia merasa jengah dengan panggilan itu, tapi aku harus memanggilnya dengan sebutan Papa. Karena itulah yang harusnya kulakukan.

Kulihat samar-samar ia berdiri membelakangiku...

Terdengar suara berbisik dari seseorang yang berbicara dengannya lewat telepon.

"Bagaimana Papa? Kau sudah menemukan Cannibal Loli?"

Ahh tidak, aku kehilangan kesadaranku...

Apa yang Papa Rivail katakan?

"Senang sekali bisa menemukan adik perempuanku kembali..."

Suara seorang gadis? Apakah yang menelpon Papa Rivail adalah temannya?

"Jangan khawatir Papa...

Sebentar lagi...

Sebentar lagu aku akan membawa pulang Mama..."

Telepon ditutup, Papa memasukkan Handphonenya ke sakunya, kesadaranku pupus, hal yang terakhir kulihat adalah elusan tangan Papa dan senyumannya...

Terasa... Hangat sekali

No comments:

Post a Comment